RSS

Author Archives: mygreatserendipity

About mygreatserendipity

A lady who is in her best mood to enjoy this spectacular and incredible life...

Do you know where you going to?

Judul di atas adalah lagunya Diana Ross; hits di tahun 1976, menang Academy Award for Best Original Song (dari film Mahogany), dan selalu diputar sebagai lagu terakhir di Aditya 98,7 FM jam 11 malam di jaman saya masih ngedengerin Aditya FM.

Bayangin anak umur 16 tahun yang duduk di kelas akselerasi baru mau tidur jam 11 malam habis ngerjain PR. Pikirannya dipenuhin ama ‘mau kuliah apa dan dimana’ sampai ke level cemas. Yang dia tau, dia gak mau tetap tinggal di Pekanbaru. Entah karena kebanyakan nonton romcom Hollywood atau memang udah bosan berantem terus ama adek-adeknya (belum akur waktu itu), di kepalanya Yaya yang ada adalah ‘you go far when you are going to college, it’s time to become an adult‘. And she did go as far as two flights from Pekanbaru to Yogyakarta could take her.

Did she become an adult? That’s debatable, because said girl still checking Gramedia religiously for the newest Conan comic and willing to fake a cry to make her sister go to buy her dinner.

Yang jelas, dia tambah semangat untuk pergi jauh. Beruntungnya dia juga punya teman-teman yang keren yang nunjukin jalan gimana caranya biar bisa belajar sambil jalan-jalan. Mungkin karena awalnya dia punya cita-cita jadi diplomat atau jurnalis kaya Christiane Amanpour, atau emang orangnya yang (like Hartanto once said and we both agreed) selfish and greedy and just cannot get enough. She cannot stop with the travelling either.

Dan itu bukan hobi. Saya jujur paling malas packing and pindahan, walaupun karena jam terbang jadi lebih tinggi sekarang skill packing juga makin bagus. Kerjaan yang makin lama makin seru, makin ngebuat nagih, dan makin ngebutuhin untuk kemana-mana. Kadang bisa sesederhana pindah rumah sakit pindah kota pas koas, atau harus tinggal di negara lain untuk beberapa waktu karena kerjaan atau belajar.

Nah, gak sekali dua saya ngerasain jenuh hidup di koper, selalu kelewatan acara-acara gathering karena lagi di luar kota, dan capek tapi belum bisa tidur di kamar baru yang adalah kamar hotel, saya bakal inget waktu saya masih di Rumbai kecapean abis ngerjain PR tapi belum bisa tidur dan ngedengerin Diana Ross nyanyi kaya beneran lagi nanyain saya ‘do you know where you going to?

Kadang kita cuma tau setengah dari keinginan kita, atau setidaknya saya begitu. Saya cuma punya beberapa hal yang saya pertimbangkan sebagai pekerjaan yang oke, yang membuat saya bisa menggunakan ilmu saya (dan saya harap membuat perubahan), bertemu orang banyak, dan pergi ke banyak tempat. Saya tau apa yang harus saya usahakan untuk hal itu tidak akan gampang, tapi kadang ada saat-saat saya berpikir “I never thought it will be this hard, that I do not enjoy it anymore”.

Tapi saya rasa memang pada awalnya kita hanya tau setengah dari keinginan kita, dan setengahnya (yang berisi semua hal yang tidak menyenangkan) yang akan menjadi penentu apakah kita bisa sampai ke tujuan apa tidak. Mungkin setengah dari keinginan kita yang isinya semua hal yang gak enak itulah yang orang bilang diterminasi, disiplin, mengalahkan diri sendiri dan semangat juang.

Sekarang saya bahkan udah bukan di Jogja lagi. Saya ada di tempat yang selisih 11 jam lebih lambat dari WIB. Dengan banyak doa dari orang tua, guru, dan sahabat, entah gimana caranya saya bisa diterima di sekolah kesehatan masyarakat terbaik di dunia. Somehow, saya bisa mengalahkan setengah dari keinginan saya untuk jadi mahasiswa S2 di Johns Hopkins’s Bloomberg School of Public Health sehingga saya bisa benar-benar ada di sini. Saya ingat saya menghela napas panjang waktu pertama kali melihat kompleks kampus ini seminggu yang lalu. Yang terpikir oleh saya adalah apakah saya akan bertahan dengan semua standar dan cara kerja disini.

Karena saya pergi ke sini dengan beasiswa Pemerintah, dengan surat rekomendasi dari seorang Guru Besar yang disegani di tingkat internasional, pimpinan salah satu institusi JHU di Indonesia, dan PI dari sebuah proyek riset multinasional di JHU. Oh, tidak lupa dengan sebuah tawaran pekerjaan sebagai asisten peneliti di proyek riset multinasional tersebut. Mereka pasti akan melihat kinerja saya disini.

Saya sedang duduk di perjalanan 16 jam dari Doha ke New York ketika saya menyadari itu, dan untuk sekitar 15 menit saya panik, like literally panic (fast breathing, sweating, and thinking nonsense things). ‘What am I doing going this far, to place that I know is not the safest place on earth, far from family? What do I want to prove? What will I do there?’

Tapi mungkin karena saya juga udah beberapa kali mengalami hal seperti ini (walaupun tidak sebesar ini), dan juga kenyataan bahwa akhirnya saya memilih tidur buat ngehilangin panik (sleep always helps), saya akhirnya sampai di keputusan ‘Yah Ya, udah telat kali kalau mau mundur, udah terlanjur basah ya main air aja sekalian’. Yang bisa saya kerjakan sekarang adalah usaha sekuat tenaga, belajar yang benar, karena itu yang diamanatkan ke saya oleh negara, guru-guru, dan keluarga saya. Dan setau saya, tidak ada batas untuk usaha asalkan itu di jalan yang benar dan terhormat.

Setengah keinginan saya yang mau pergi jauh-jauh buat sekolah disini, jadi saya juga harus tanggung jawab dengan setengah bagian lagi yang mungkin tidak terlalu enak, tapi pasti akan rewarding. Seperti usaha, keinginan juga tidak akan pernah ada batasnya. Hanya kita yang harus sadar bahwa selalu ada harga yang harus dibayar untuk mendapatkan apa yang kita mau.

Kalau ada yang bertanya (dan ini banyak, terutama buat adik-adik di FK UGM) bagaimana caranya bisa ‘pergi jauh’, saya cuma bisa bilang pertama kita harus tau apa yang kita mau. Untuk mengetahui apa yang kita mau waktunya tidak bisa sebentar, ada prosesnya. Jadi daripada bertanya-tanya mau apa, mending langsung masuk ke prosesnya. Entah kalau ada bukaan posisi tertentu, atau ikut di berbagai kegiatan, pelajari hal baru, bergabung ke lingkungan baru. Semuanya asal dilakukan dengan niat dan cara yang baik dan tekun pasti akan bermanfaat dan membentuk visi kita ke depan. Saya bisa bilang ini karena ini yang saya lakukan. Saya aja yang modal otak pas-pasan (ini beneran, kalau ngikut hasil IQ saya bahkan gak bisa masuk aksel) bisa, apalagi yang kalau udah dari sananya pinter.

Yang kedua adalah jangan kelamaan mikir. Kalau saya kelamaan mikir waktu saya panik di atas pesawat, mungkin saya bakal nangis aja minta pulang. Perlu kenekatan sendiri buat berani mengambil keputusan. Pertnyaan kaya daftar beasiswa apa tidak (gak usah kebanyakan mikir bakal diterima apa gak), daftar S2 tahun ini apa gak (mau nunggu apa emangnya), mau ngambil studi bidang apa (ya dicari tau donk adanya di universitas tujuan apa dibandingkan dengan apa yang kita mau) bisa jadi kontemplasi sekian purnama sendiri kalau gak bisa ambil keputusan cepat. Keputusan cepatnya tentu udah harus ada dasar riset terlebih dulu.

Dan yang ketiga, ini yang paling penting, pasrah ama Yang Di Atas. Saya percaya Allah akan selalu memberi kemudahan buat saya, itu kenapa saya juga berani mengambil jalan yang saya pikir sulit. Perasaan tenang bahwa ada yang menjaga saya dan orang-orang yang saya sayangi yang jauh dari saya adalah hal yang membuat saya berpikir bahwa semua hal akan baik-baik saja.

Akhirnya pertanyaan di lagu Diana Ross tadi adalah sebuah pertanyaan valid yang harus ditanyakan semua orang. Apakah kamu tau kamu akan pergi kemana? Itu artinya hanya diri kitalah yang paling berhak menentukan apa yang mau kita lakukan dengan hidup kita, bukan orang lain. Orang lain hanya bisa memberi masukan, keputusan terbesar tetap ada di tangan kita. Konsekuensinya, semua tanggung jawab juga ada di tangan kita.

 

 
Leave a comment

Posted by on August 20, 2016 in About Life

 

Moving Through the Future

Diawali dengan pembicaraan saya dengan teman SMA saya tentang LPDP, beasiswa yang lagi hits saat ini. Teman saya pesan cepetan ikutan LPDP, sebelum diberentiin programnya ama DPR. Saya balik nanya kan, saya udah pernah denger isu ini tapi gak bener-bener nyimak, emang kenapa sih kok mau diberentiin? Jawaban teman saya adalah, “Katanya DPR gak ada profitnya”.
Nah ini kan namanya udah cerita dari tangan ke berapa yah, katanya katanya, jadi belum tentu sebenernya DPR bilang kaya gitu. Tapiii, ini ngebuat saya mikir.
Sekarang program LPDP emang jadi semacam program bagi-bagi duit sih, tapi bayangin 10 tahun lagi, saat awardee sudah mulai pulang ke Indonesia dan settle. Ada berapa banyak ahli yang Indonesia punya, ada berapa banyak dosen berkualitas tinggi yang Indonesia punya, dan dengan yang baru-baru ini dibuka, ada berapa banyak dokter spesialis yang Indonesia punya.
Memang yang paling susah itu adalah memulai dan konsisten di semangat awal kita saat memulai. Karena saat kita melangkah di langkah-langkah pertama, beratnya usaha yang harus kita tempuh bisa membuat niat awal patah duluan. Saya rasa banyak yang udah mengalami. Berapa banyak akhirnya cuma tarawih dan tadarus di sepertiga awal puasa? Berapa banyak yang cuma rajin di awal semester? Dan berapa banyak file-file proyek setengah jadi tersimpan di dalam laptop? Gak papa kok, saya juga kaya gitu, hehehehe…

Sekitar sebulan yang lalu saya lagi rapat bareng Prof tentang food safety (yup, ruang lingkup di IKM jangan ditanya deh). Prof cerita gimana orang-orang di Irlandia dealing dengan bakteri-bakteri di produk makanan mereka. Si Amirah dengan sotoy-nya nyeletuk, “wah Prof, disana mah mereka bisa pake microarray, disini mana bisa”. Prof jawab apa coba? “Itu kan sekarang, besok-besok belum tentu. Pertama kali saya ngeliat komputer di Amerika, kamu tau besarnya kaya apa? Mana mungkin yang kaya gitu sampai Indonesia. Liat sekarang, yang di tangan kamu itu apa?”
Amirah mesem-mesem.
Intinya Prof bilang, kita tetap harus siap-siap dengan sumber daya yang kita punya untuk mengikuti perkembangan yang ada. Sambil terus mengembangkan diri, cari cara apa yang bisa dilakukan biar kita juga bisa naik tingkat mendekat ke standar mereka.

Tau gak? Itu ngebuat saya sadar, kayanya kita orang Indonesia itu bukan bangsa yang inovatif ya, taunya udah jadi aja semuanya, atau konsumtif deh istilah mudahnya (kalau ini Papi udah bilang ke saya dari dulu sih sebenernya).
Sebagai bangsa yang visioner seharusnya kita tidak perlu menanyakan LPDP ada profitnya atau tidak.
Kita tidak akan mengusulkan agar Pilkada langsung ditiadakan hanya karena di hampir semua daerah hasilnya tidak seperti yang diharapkan (setelah 32 tahun Orde Baru, masa iya evaluasi demokrasi hanya dilakukan dalam waktu 10 tahun).
Kita tidak akan marah saat BBM bersubsidi dan pajak mobil pribadi dinaikkan.
Atau saat program Keluarga Berencana (yah, termasuk program bagi-bagi kondom itu) dikampanyekan besar-besaran oleh Departemen Kesehatan dan BKKBN.
Karena sekarang mau tidak mau kita harus memikirkan tentang satu kata; sustainability, atau keberlanjutan.
Karena kalau tidak dimulai dari sekarang, Indonesia tidak akan pernah punya angkatan cendikiawan. Karena kalau ternyata yang menang Pilkada langsung juga ketangkap KPK, mau gak mau Pemerintah dan rakyat juga harus lebih kritis dalam proses seleksi calon kepala daerah. Karena kalau subsidi tidak dikurangi kita bakal bangkrut, macet gak selesai-selesai, dan polusi makin parah (yah, saya percaya ama yang namanya global warming). Dan karena penduduk dunia udah 7 milyar dan kita adalah negara setidaknya keempat terbesar di dunia, sementara kemampuan kita untuk mandiri di bidang pangan tau sendirilah.

Yang terberat dari sebuah visi di masa depan adalah memulai dan bertahan untuk bekerja dengan semangat yang sama, kalau tidak bisa lebih besar, sampai akhirnya visi kita itu bisa jadi nyata, bukan cuma visi.
Sekarang saya sedang punya 4 proyek besar skala internasional yang sifatnya masih visi. Kadang ketika saya sedang serius kerja saya bakal kepikiran mendadak, “…capek-capek kaya gini kerja bakal berhasil gak sih nanti? Ntar udah capek-capek taunya gagal, mending berenti sekarang”.
Hup, saya langsung istighfar!

Rasa takut itu wajar. Kalau kata quotes di Tumblr, kalo kita gak takut dalam mengerjakan sesuatu berarti yang kita kerjain itu yang gak bakal ngebawa ke hal yang hebat. Konotasinya positif yah, jangan ujian modal takut doank tapi gak belajar. Belum ada hebat-hebatnya sih remed ujian tuh, dompet terkuras iya bayarnya.
Rasa takut seharusnya jadi evaluasi, apa yang kurang, apa yang harus ditingkatkan. Semakin tinggi pendidikan seseorang (pendidikannya, bukan gelarnya) seharusnya dia juga jadi makin positif, visioner, dan up to the challenges. Setidaknya dari pengalaman saya yang kelasnya baru errand girl slash research assistant ini, kalo prosesnya bener pasti ada aja nanti manfaatnya.

Nah, hari ini wejangannya Prof lain lagi. Gimana caranya kita bisa fokus mengerjakan sesuatu, yang sulit, yang rasanya gak selesai-selesai; harus dijadwal yang ajek. Contohnya kaya Prof yang lagi mau nulis, ya tiap hari sekitar dua jam itu didedikasikan buat nulis, gak yang lain-lain, sampai selesai.
Karena tau gak racunnya itu apa? Begitu sekali berenti pasti susah mulai lagi kan? Nah, jangan sampai berenti!

Jadi, yang sedang berjuang dengan skripsi, tesis, atau disertasi; ingat dua jam sehari! Minimal loh itu, lebih ya gak papa.
Atau yang kaya saya, dipasrahin tugas baru hampir setiap hari? Dua jam sehari minimal buat berajar dari literatur.
Yang lagi nyari beasiswa? Dua jam tiap hari buat nyiapin berkas dan isi ini itu di formulir online plus nyari-nyari info lain, masa iya gak cukup.
Kalau pas jenuh yang istiahat sebentar boleh, tapi jangan berhenti.
Ingat aja kalau sekarang, apa yang kita sedang usahakan, adalah usaha lintas waktu. Kita melihat bukan sekedar untuk hari esok, tapi masa depan yang lebih jauh lagi, yang lebih baik.
Kita sedang dalam perjalanan melintasi masa depan.

Selamat berjuang!

 
Leave a comment

Posted by on October 23, 2014 in Behind That White Suit

 

The Glimpse of Life in Bireuen

Masuk bulan keenam di Bireuen, gimana hidup disini? Hahahahaha…

Well, it took me less than a day to fall in love in Jogja. In fact I am missing that beautiful city right now, longing to come back. With Bireuen, to be honest, I am longing for this period to be over. Bukan karena Bireuen sebenarnya, tapi lebih karena apa yang saya kerjakan disini. Singkat kata dinamika kehidupannya kurang, hehehehe…

Sebenarnya hidup disini lumayan menyenangkan. Ini kota kecil, gak ada industri yang prominen yang menjelaskan mengapa perkembangannya tidak begitu pesat. Kalau bukan karena daerah ini adalah persilangan sekian banyak jalan untuk ke daerah lain, mungkin keadaannya akan lebih sepi lagi. Kebanyakan yang tinggal disini adalah pegawai negeri, polisi atau tentara (karena Bireuen termasuk daerah konflik dulunya), pedagang, dan dilihat dari banyaknya sawah disini seharusnya ada banyak petani juga.

Kejutan pertama disini adalah bahasa. Sumpah saya gak pernah tau sebelumnya kalo ada bahasa Aceh. Dengan polosnya saya mikir ya disini pake bahasa Melayu juga. Lebih gila lagi adalah bahasa Aceh sama sekali asing di telinga saya, semacam perpaduan antara bahasa Melayu, Minang, dan Batak bunyinya di telinga saya. Dan di Bireuen, hamper semua orang ngomong pake bahasa Aceh. Ketemu pasien yang usia muda pun, anak SMA misalnya, bicaranya pake bahasa Aceh. Ini lebih parah daripada pertama kali saya di Jogja, saya cuma harus dengar bahasa Jawa kalo bicara ama yang udah sepuh. Ini aja udah ngebuat saya keteteran waktu kerja, gimana caranya mau edukasi pasien. Sekitar 50% bisa bahasa Indonesia, dan ini enak karena saya bisa bener-bener ngejelasin mereka tentang kondisi kesahatannya. Sisanya biasanya saya pasrahin ke perawat, entah apa yang mereka bilang ke pasien saya juga gak ngerti kan. Ini lumayan ngebuat frustasi sih. Apalagi kalo pasiennya diabetes atau gagal jantung yang repot manajemen nonfarmakologisnya.

Sekarang saya udah lumayan bisa sedikit-sedikit bahasa Aceh, walaupun keki juga kalo dijawab beneran. Jawabannya panjang, ngomongnya cepet, saya gak ngerti satu katapun, hahahahaha… Untungnya disini, di RSUD dr. Fauziah, gak di Poli gak di UGD, perawatnya baik-baik. Mereka maklum kalau saya gak bisa bahasa Aceh, kadang malah saya dikasih privat gratis, hehehe…

Kejutan kedua adalah porsi kerjanya. Karena dokter intership cuma boleh di rumah sakit atau puskesmas yang udah ditentukan, jadinya ya kerjaan saya cuma sesuai ama jam kerja disana. Kebiasaan berangkat pagi pulang malam di Jogja, nyampe disini paling lama kerja cuma 12 jam, itu juga pas jaga malam. Hahahaha, bukannya saya gak bersyukur dikasih kerjaan selo, tapi kan bingung juga yah mau ngapain kelamaan bengong di rumah. Alhasil saya banyak ngambil online course, sama banyak ngebuka buku lagi kalo ngisi log book. Nah, kalo ada satu hal yang saya suka dari internship itu ya paper work nya. Hahahaha, bukan apa-apa sih, tapi itu beneran ngebuat saya belajar dan somehow buat saya yang dokter baru gini, itu bener-bener nambah percaya diri.

Jadi kan kita dikasih log book yah. Nah kalo saya biasanya saya cuma nyatat profil pasien, anamnesis, ama pemeriksaan fisik doank. Diagnosis ama pengobatannya saya kosongin dulu. Nanti sampai di rumah baru saya isi, buka buku lagi, liat Medscape atau Mayo Clinic. Sumpah deh cepet pinternya kalo kaya gitu, hehehehe… Kadang ampe frustasi sendiri kok yang kecil-kecil juga gak yakin tetap mesti cek buku. Tapi ya mending kaya gitu kan daripada salah-salah…

Oh kejutan ketiga, Mie Aceh!!! Subhanallah ini makanan emang enaknya gak ketulungan. Orang Aceh emang jago masak yah, dan makanannya saya udah gak ngerti lagi itu dicampur apa aja bumbunya. Tapi dari sekian banyak makanan Aceh, favorit saya adalah Mie Aceh! Ini makannya juga gak bisa sembarangan, kalo perutnya gak terlatih bisa-bisa maag bakal kambuh abis makan. Mungkin karena rempahnya kuat banget kali yah. Saya gak kapok sih, walopun kadang-kadang abis makan perut saya bakal kerasa panas paling gak selama dua jam, hahahahaha…

Awal saya mulai kerja disini dulu saya suka bingung ngeliat insidensi dyspepsia di poli itu rameee banget. Biasanya kan yang kena penyakit kaya gini ibu-ibu usia 30 ke atas yah, yang kuat pengaruh stressnya, eh tapi di sini gak ibu-ibu bapak-bapak tua muda semuanya aja kena dyspepsia. Saya heran banget. Sampai akhirnya saya ngalamin sendiri perut panas gak ilang-ilang abis makan makanan Aceh. Baru saya paham, iya aja semuanya pada punya masalah di lambung, lah makanannya kaya gini. Tapi apa itu ngebuat kapok? Jelas gak, biar deh perut panas sebentar asalkan nyicip itu masakan mahaenak, hahahaha…

Mungkin hidup di Bireuen gak seseru hidup di Jogja, tapi somehow saya tetap ngerasa beruntung. Waktu awal saya memutuskan untuk keluar dari zona nyaman dan milih internship di tempat asing, saya udah bisa ngebayangin gimana kira-kira situasi yang bakal saya hadapi. Kalau aja misalnya Mami Papi ngijinin, mungkin saya udah ada di tempat yang lebih jauh lagi, hahahaha… Ada banyak hal, keterampilan hidup baru yang saya pelajari disini. Hal yang susah dijelaskan, tapi jelas berasa. Kemampuan bertahan di tengah monotonnya hidup misalnya, dan gimana caranya supaya gak ikut-ikutan jadi monoton. In conclusion, life in Bireuen is fine

 
4 Comments

Posted by on February 9, 2014 in About Life

 

The Busiest Month of the Year!

Here it comes December, the busiest month of the year! And it is getting closer to its end too!!!

Katanya kalo kita bersenang-senang, waktu akan berjalan dengan sangat cepat, terus tiba-tiba udah di ujung aja. Saya g yakin saya bersenang-senang selama tahun ini, tapi waktu memang berjalan cepat.

Bukannya tahun ini mengecewakan atau gimana, cuma kalo ibarat perjalanan, 2013 itu kaya jalan Bireuen ke Takengon, bumpy road.
Saya rasa semua apa yang saya pengen berhasil saya dapetin sih, dan saya bersyukur untuk itu. Tapi kalo inget tahun ini saya kehilangan sahabat saya, mau ditukar ama semua apa yang saya punya juga saya rela asalkan sahabat saya masih di sini sekarang. Yah, tapi hidup tetap musti jalan terus kan. Sedih-sedih terus ada juga ntar diketuk kepalanya ama Sya kalo dia masih ada, kena omel sepanjang jalan kenangan, hehehehehe…
Tahun ini juga kayanya banyakan perang ama diri sendiri. Antara mau nyenengin orang atau nyenengin diri sendiri. Mungkin karena dari dulu saya biasa kalo buat keputusan gak perlu matur kiri kanan, sekarang aneh aja rasanya kalo harus matur kiri kanan. Saya mikirnya, kalo dulu pas saya masih kecil aja saya dibiarin ngapa-ngapain sendiri, kenapa sekarang saya harus heboh ijin kiri kanan, aneh kan… Tapi ya gitu, makin dibahas makin panas, gak dibahas kesel sendiri. Paling dipendam-pendam sampai meledak. Belum apa-apa prognosis tahun 2014 udah gak enak aja, hahahahaha…

Anyway, kenapa Desember selalu jadi bulan yang sibuk dan ngebuat stress buat saya?
Karena Desember artinya saya harus kejar-kejaran ama waktu nyelesaiin semua deadline akhir tahun, dan yang mungkin lebih ngebuat sibuk lagi adalah nyusun rencana untuk tahun depan.

Dan tahun depan kayanya banyak yang harus direncanakan. Apa mau kerja dulu, atau lanjut sekolah, apa ambil PPDS? Mau tinggal dimana, Pekanbaru, Jakarta, Yogyakarta? Selama ini saya sibuk ngumpulin brosur beasiswa, apa mau mulai apply atau ngebagusin CV dulu? Kalau saya mau nyiapin sekolah berarti saya haru nyiapin syarat-syaratnya juga. Publikasi internasional, dan itu artinya harus mulai penelitian lagi. Kalo penelitiannya di 2014 idealnya sekarang saya udah selesai paling gak di brainstorming. Belum lagi syarat-syarat kaya IELTS, transkrip yang harus disesuaikan, rekomendasi, dan banyak hal-hal kecil yang kayanya gak selesai-selesai.

Itu kenapa Desember, walaupun sebenarnya adalah bulan yang menyenangkan (banyak ulang tahun dan liburan) akan selalu jadi bulan yang paling ngebuat mikir, untuk waku yang sudah dilewati dan waktu yang akan datang. Saya bersyukur bahwa saya masih punya kesempatan untuk menikmati Desember tahun ini. Banyak yang harus dipersiapkan, tapi saya tidak akan pernah mengeluh untuk itu, karena berarti masih banyak hal baik yang akan terjadi di tahun depan yang tinggal sebentar lagi. Positifnya, tahun depan saya bisa lebih fokus dengan kerjaan yang saya suka, gak seperti jaman kuliah yang kayanya banyak banget hal di banyak bidang yang harus diselesaikan.

Saya juga gak pernah sengaja ngerayain tahun baru dengan spesial atau gimana, tapi tahun baru ini kayanya akan jadi salah satu favorit saya. Ada di Rumbai, di rumah lengkap dengan semua becandaannya, makanannya, sahabat-sahabat dekat, dan lingkungan yang sudah saya kenal dari saya kecil. Tahun boleh berubah, umur akan bertambah, tapi saat ini saya merasa seperti saya kembali di masa kecil saya, bahagia dan penuh dengan rasa optimis. 2014 tampaknya akan lebih menyenangkan 🙂

 
Leave a comment

Posted by on December 31, 2013 in About Life

 

Obstetri dan Ginekologi

Well, dalam rangka bayar utang, mari kita mengingat-ingat lagi stase Obsgyn jaman koass dulu.

Kata-katanya Obsgyn itu stasenya horor.  Udahlah capek, bidan-bidannya nyebelin lagi. Saya keinget ceritanya Kak Puti gimana bidan di Sardjito manggil koass. Manggilnya teriak, “Deeek Koooaaaaaasss”, kaya manggil pembantu. Dan si Koass dipanggil kaya gtu ya datang dengan tergopoh-gopoh persis kaya pembantu,  hahahahaha…

Anyway, saya masuk tetap dengan pikiran positif sih. Ya namanya kan untung-untungan yah pas koass tuh, saya doa aja saya kebagian untungnya.
Seperti biasa, saya nanya-nanya Gandhi dulu stase yang enak dimana.  Gandhi cerita yang paling seru itu di Banjarnegara. Kasusnya seru-seru, kotanya adem, trus bidannya baik-baik. Nah kalo dari Bowo rekomennya ke Sleman, soalnya nanti bakal diajarin kuret pake suction,  hehehehe…
Apa daya kedua-duanya gak rejeki. Saya kebagiannya Muntilan, Cilacap, ama Wates. Bayangin aja pindah-pindah tiap dua minggu, ngebayangin aja udh capek duluan.

Tapi kayanya saya emang lagi kebagian untung sih, hehehehe… Alhamdulillah selama di Sardjito gak ada masalah, jadi pergi ke luar kotanya juga dengan hati senang. Secara stase pertama di Muntilan, saya dan gemeli tercinta, Puker, gak nginep. Kita ngelaju donk tiap hari, berangkat deket-deket jam enam. Untung si Puker nyetirnya jago, ditinggal tidur aja sih nanti nyampe-nyampe udah di Muntilan gak pake telat.
Stase kedua di Cilacap! Cilacap lagi setelah Anastesi. Untungnya asrama gak rame, jadi dua minggu disana gak pake acara antri mandi. Dan tiap pagi saya bakal makan bubur ayam mahanikmat di seberang rumah sakit, lengkap ama piscoknya. Cilacap tuh emang makanannya rasa dosa banget yah, hehehehe… Apalagi kalo bukan Martabak Alaska yang porsi menteganya ngebuat syok dan langsung nambah tabungan lemak. Tapi ya namanya ‘mumpung lagi di Cilacap’ kita tetap makan sih, hahahaha…
Stase terakhir Wates! Kita dapat asrama, dan bareng ama koass Anak kelompoknya Gusti, Baysus, Gilang cs. Kebayang aja kaconya gimana. Kayanya hampir tiap pagi saya udah kaya emak-emak ngebangunin subuh, nyapu rumah, dan pas pulang, rumahnya udah diberantakin lagi ama mereka. Tapi  gak kebayang juga sepinya kaya apa kalo gak sama mereka…

Alhamdulillah kedua itu adalah saya dapat residen baik-baik banget, kecuali residen pas pertama kali di luar kota yang agak amit-amit, hehehehe… Udahlah diajarin, dibolehin macem-macem lagi. Jadinya enak, pulang ke Sardjito, mau OSCE, udah gak perlu belajar heboh. Partus biasa, gemeli, pasang kontrasepsi, presentasi bokong, ama kasus-kasus patologis udah bisa dikerjain sambil ketawa-ketawa. Special thanks mungkin harus dikasih buat dr. Luga yanga ngajarin USG ibu hamil, sekarang pas internship saya bisa dipasrahin USG ama konsulen Obsgyn disini, hehehehe…
Saya tau nilainya Obsgyn gak bisa diharapin keluar A, walaupun nilainya emang bisa dapat A. Ya gak papa sih, secara Obsgyn banyakan skill, dan ngeri aja pertanggungjawabannya nanti kalo dikasih A, kita kan bisa aja gagu mendadak, hehehehe… Tapi tetap kok ada rasa puas tersendiri setiap kali selesai refleksi atau OSCE kita bisa happy karena ujiannya lancar.

Kalo ada yang saya ingat dari Obsgyn itu ya gimana sampai hampir tiga bulan abis selesai Obsgyn saya mentah banget rasanya buat punya anak, hahahaha… Selama ini kan mikirnya kalo hamil itu glowing, happy, disayang ama suami. Kenyataannya? Mana ada kaya gitu, hahahahaha…

Mulai dari acara morning sickness nya aja deh, belum lagi nanti stretch mark dimana-mana yang gak ada bagus-bagusnya. Berat badan bakal naik, dan saya ngebayangin dengan tinggi badan kaya saya kayanya saya bakal kaya jadi buntelan raksasa kalo berat badannya naik kaya gitu. Dan perutnya si Ibu belum tentu bulat bagus gitu yah, kadang kalo Baby nya gerak-gerak perutnya juga bakal nonjol di satu sisi doank, kaya tumor, hehehehehe…
Kalo udah kaya gitu suami perhatian kayanya semuanya kebayar yah. Ini yang ditemuin rata-rata si Suami pada cold feet semua, cuma diam manut-manut. Pas mau ngelahirin, malah keluar dari ruang bersalin, gak nemanin, ngerokok di luar. Saya bisa ngutuk-ngutuk sendiri itu kalo ketemu suami pasien yang kaya gitu.
Si Ibu sendiri juga kadang ignorance, kaya g terlalu ngerti step-step yang dia lalui. Entah karena saking capeknya atau emang gak paham. Itu semua cukup ngebuat saya mentah banget rasanya buat punya baby sendiri.

Nah, kebetulan sekarang saya juga lagi kebagian dinas di Poli Obsgyn. Biasalah baca-baca sebelum mulai kerja, ada caption yang bagus banget dari Oxford Handbook:

“But if an obstetrician could be granted one wish, it would not be to abolish these (pathological pregnancies); rather it would be to make every pregnancy planned and desired by the mother. Worldwide, a woman dies every minute from the effects of pregnancy, and most of these women never wanted to be pregnant in the first place-but either had no means of contraception, or were without the skills, authority, and self-confidence to negotiate with their partners. So the real killers are poverty, ignorance, and the unwieldy desires of men, and the real solutions entail literacy, economic growth, and equality of dialogue between the sexes. Any obstetric or governmental initiatives in reproductive health which do not recognise these facts are doomed”.

See? Yang penting adalah membuat setiap kehamilan itu direncanakan dan diinginkan. Setiap perempuan harus sadar mereka harus mempersiapkan dirinya untuk jadi ibu, peduli dengan status kesehatannya mulai dari jauh sebelum dia hamil. Bahkan penelitian terbaru mengindikasikan apa yang kita makan, dan apa yang nenek kita makan bisa berpengaruh ke calon bayi kita nanti.
Caranya sederhana, peduli ama diri sendiri. Apa yang kita makan, olahraga yang kita lakukan, memastikan kita memiliki perlindungan vaksin yang penting, dan mempraktekkan kesehatan reproduksi yang baik. Ini termasuk usia minimal (atau maksimal) untuk menikah dan memiliki anak, jarak antar anak, kontrasepsi, dan perlindungan terhadap infeksi juga penyakit-penyakit keganasan.
Saat akan hamil pun, pastikan sebelumnya kita bebas dari penyakit-penyakit yang bisa menyebabkan cacat bawaan, konsumsi kalsium dan asam folat, juga zat besi. Tekanan darah dan glukosa terkendali, aktivitas sehari-hari tetap lancar. Ibu hamil juga harus tetap aktif, bukan jadinya cuma istirahat makan terus. Ibu hamil yang berolahraga teratur hasilnya adalah bayi yang punya jantung lebih baik juga.

Seharusnya hal seperti ini diketahui oleh semua perempuan. Biar generasi berikutnya juga anak-anak yang sehat dan cerdas. Karena terkadang saat sudah direncanain pun, kehamilan ada yang gak sesuai dengan rencana, things happen.
Jangan datang-datang ke dokter udah hamil aja, maunya ya datang buat konsultasi sebelum hamil. Susahnya banyak sih, informasi yang di seluruh Indonesia mudah diakses, belum lagi gayanya ABG jaman sekarang, pas ngelahirin nikahnya baru 5 bulan, mana ada yang kaya gitu direncanain, hehehehehehe…

Mungkin karena saya perempuan, makanya saya ngerasa concern sekali dengan hal ini. Gimanapun ada instinct di perempuan untuk bisa hamil dan punya anak. Robin Scherbatsky aja waktu dibilang dia gak bisa punya anak sedih kan? Hehehehe…
Anyway, saya cuma sekitar tiga bulanan ngerasa gak mau punya anak sendiri. Setelah semua capek-capek di Obsgyn selesai, saya kayanya kembali bisa ngeliat esensi sebenarnya dari jadi ibu gak cuma masalah hamil dan melahirkan, itu memang panggilannya perempuan. Sekarang saya tetap senyum-senyum sendiri kalo nonton iklan Friso, nangis terharu nonton What to Expect When You’re Expecting, kegirangan ngelebihi si Ibu waktu nunjukin baby di layar USG, dan iri setengah mati ama temen-temen yang lain yang udah punya baby sendiri.

Jadi buat calon ibu dan ayah di manapun itu, ternyata belajar jadi orang tua bisa dimulai dari sekarang 🙂

 
1 Comment

Posted by on October 21, 2013 in Behind That White Suit

 

Morning Thought

Greetings from Bireuen!

Ah, akhirnya setelah banyak wacana saya nulis lagi, hehehehe… Lokasi kali ini adalah Kota Bireuen, ibu kota Kabupaten Bireuen, Aceh.

Emang kita gak pernah tau yah hidup ngebawa kita kemana. Setelah banyak hush hush yang gak jelas akhirnya saya milih buat internship di kota ini. Ini kota terdekat dengan Pekanbaru, karena masih sama-sama di Pulau Sumatera, jarak aslinya sih jauh banget. Buat sementara saya harus nunda mimpi saya nginjak Pulau Sulawesi karena di rumah nyaris pecah perang dunia ketiga begitu saya bilang saya mau internship di Sulawesi.

Sekarang pagi hari, saya udah siap buat berangkat kerja, tapi kalo saya berangkat sekarang juga gak bakal ada orang di Poli. Enaknya disini jam kerja ama pola hidup saya cocok, jadi saya bisa punya me time di pagi hari, nyambi kerja ini itu, kaya di Jogja dulu.
Saya mau cerita apa yah. Saking banyaknya yang mau diceritain saya sampai bingung sendiri. Mungkin karena di umur seperti sekarang ini adalah umur dimana kita mulai benar-benar ngegerakin diri sesuai dengan jalan yang udah kita susun jauh-jauh hari. Itu yang sekarang saya harap sedang saya jalanin. Tapi ternyata gak mudah yah.
Dulu waktu saya masih sekolah, rasanya gak terlalu banyak orang yang pay attention ama apa yang saya kerjakan. Tapi sekarang kayanya banyak banget suara yang harus saya dengar, dan itu gak enak. Bukannya di umur segini seharusnya kita udah bisa buat keputusan sendiri yah, kita udah tanggung jawab ama diri sendiri. Tapi yang saya rasain saya tetap harus permisi sana-sini, ngebiarin orang yang bicara buat saya. Kalo ini terjadi dulu-dulu waktu saya memang masih perlu dibantu buat ngambil keputusan ya gak bakal salah, malah saya mungkin bakal terbiasa sampai sekarang. Tapi saya ngerasa selama ini saya apa-apa kebiasa sendiri, jadi sekarang aneh banget rasanya kalo apa-apa sampai harus heboh-hebohan.
Mungkin emang saya yang lain sendiri.

Sampai sekarang, saya masih gak tau saya mau tinggal dimana. Saya tau abis ini saya harus ngapain, saya harus kemana. Tapi saya gak pernah mau tinggal menetap di satu tempat. Saya nikmatin banget masa-masa kaya sekarang. Pergi ke tempat-tempat baru, belajar bahasa baru, ketemu teman-teman baru. Walaupun awalnya pasti gamang, awalnya pasti takut, tapi disana letak sensasinya.
Dan saya juga ada dimasa-masa saya gak yakin ama apa yang udah saya rencain sebelumnya. Kadang seberat apapun mimpi kita, kita bisa mencoba terus berusaha karena kita tau kita punya kekuatan yang datang entah dari mana untuk mendukung. Nah, itu yang saya gak punya sekarang.
Saya merasa asing. Asing dengan orang-orang yang seharusnya dekat dengan saya. Asing dengan lingkungan yang sudah saya kenal sejak saya lahir. Asing dengan ide-ide yang ada di sekeliling saya. Dan mungkin karena itu saya lebih memilih untuk pergi ke tempat-tempat jauh. Karena kadang di tempat-tempat seperti itu kita malah lebih merasa dimengerti, ada ‘klik’ yang muncul otomatis. Semuanya mendadak langsung seirama.

Tapi, selalu ada tapi. Karena kita gak hidup sendiri, mendadak di umur seperti ini ada banyak tuntutan yang harus dipenuhi, yang saya sendiri juga gak ngerti kenapa. Dan kita gak bisa ngebahagiain semua orang. Pilihannya cuma apakah kita mau ngeletakin diri kita yang pertama, kita akan bahagia tapi ada orang lain yang merasa disakiti. Atau sebaliknya, ngebiarin orang lain bahagia tapi kita gak akan ngerasa puas ama hidup kita.
Itu yang terus-terusan ada di kepala saya. Saya tau semuanya menginginkan yang terbaik, tapi entahlah rasanya gak adil aja kalo terus-terusan ngorbanin diri sendiri untuk orang lain.
Tapi yah kita juga gak akan pernah tau akhirnya hidup ngebawa kita kemana. Siapa yang sangka sekarang saya ada di kota ini, daerah pascakonflik yang katanya lagi masih kaya api dalam sekam. Hidup itu punya kejutan sendiri-sendiri, itu yang saya percaya. Mungkin sekarang semuanya terasa gak pasti, tapi nanti pasti ada satu hari dimana semuanya terasa lebih ringan. Mimpi-mimpi yang jauh pasti ada saatnya terasa sangat dekat dan ada di genggaman tangan. Bagaimana itu semua bisa terjadi yang masih bakal jadi misteri, itu kejutannya.

Jadi ini dulu cerita pertama dari Bireuen. Mungkin akhir minggu ini bakal ada banyak cerita, cerita lama siiih, yang baru sempat ketulis sekarang, hehehehehe…
Selamat beraktivitas 🙂

 
Leave a comment

Posted by on September 12, 2013 in About Life

 

A Hello From Groningen!

Hi!!!

Lama saya gak nulis akhirnya ketemu waktu yang aman buat nulis lagi. Kenapa aman? Karena praktis semua yang saya cemaskan udah gak ada. Abstrak keterima dan udah di presentasiin, semua urusan sebelum dan pas lagi di Groningen lancar, dan UKDI juga udah lulus. Jadi abis ini saya bisa nulis apaaaa aja tentang cerita-cerita koass dulu (yang sebelumnya saya takut cerita kalo-kalo g lulus UKDI kan terus jadi sedih, hehehehe), dan cerita apa yang sekarang lagi kejadian.

Saya lagi di Oosterstraat 57A, di rumah mahasiswa Groningen yang saya tumpangin. Namanya Evelien, baru tingkat satu di UMCG. Di ISCOMS tahun ini dia juga jadi First Year Crew. Jadinya seru, karena selain kita emang nyambung banget orangnya, dia juga ngenalin saya ke banyak teman-temannya sesama panitia. Yah, panitianya ISCOMS emang dasarnya ramah-ramah sih, jadi most of the moments everything is fun.

Beda rasanya ikut ISCOMS tahun ini ama dua tahun yang lalu. Beda karena saya udah pengalaman. Saya bisa packing efisien, nyiapin baju buat cuaca yang random, dan deal ama makanan sini yang gak selalu seiya sekata ama lidah. 

Bedanya lagi karena saya beneran ikut acaranya dari awal ampe akhir. Pre-course, conference, dan post-congress tour. Karena kaya gitu, kenalan dari negara lain juga makin banyak. Orang Indonesia yang ikutan juga banyak dan gak cuma dari UGM, ada dari UI, UNIBRAW, UNAIR, UDAYANA, bahkan ITB. Seru aja bisa kenalan dan having fun ama banyak teman baru.

Saya juga lebih bisa serius ngikutin kuliah, presentasi, dan workshop yang disediain. Saya ngerasa happy banget sekarang saya udah berani nanya di forum, ikutan diskusi, dan gak segan buat involve di tiap kegiatan. Presentasi saya juga saya pikir lebih bagus dari pada dua tahun yang lalu. Masih banyak banget yang harus dipelajari sih, but practice makes perfect, so I think I have to keep on practicing.

Banyak banget ilmu baru yang saya dapat, dan juga kenalan baru yang ujung-ujungnya ngebuahin kerja sama, atau sederhananya teman buat diskusi. Saya berharap apa yang saya rintis sekarang bener-bener bisa ngebantu untuk masa depan yang saya pengen. Karena mungkin saya ngerasa udah oke kalo dibandingin ama orang-orang di kampus. Kita dididik dari institusi yang sama jadi hasilnya juga gak beda-beda amat. Tapi sekalinya kita diskusi ama orang lain dari negara lain, kampus lain,, baru berasa kalo kita tetap harus nyoba lari lebih kencang supaya gak ketinggalan jauh.

Hari ini cuaca di Groningen bagus banget, cerah, walaupun anginnya tetap dingin. Kalo gak salah sekarang sekitar 20-23 derajat. Disini dengan suhu kaya gitu mahasiswa-mahasiswanya udah pada ke supermarket aja beli bir banyak-banyak, ngeluarin sofa ke halaman atau patio, buka baju, dan sunbathing. Saya? masih aja pake coat, hahahaha…

Bentar lagi saya bakal keluar janjian mau keliling centrum ama Tine yang dari UNIBRAW. IRF baru mulai tanggal 10, dan kita baru terjadwal masuk asrama nanti jam 7 malam. Saya udah kenal tiga orang lain yang bakal ikutan IRF selain Mbak Ferro. Ada Wisnu dari UDAYANA, Key dari Malaysia, ama Mahkameh dari Iran. See how fun is it? I am really excited, I just can’t wait for Monday.

Oiya, edX yang MIT juga udah selesai dan nilainya cukup untuk lulus. Walaupun saya masih ngerasa kurang banget waktunya karena harus pindah sana-sini selama 3 bulan terakhir ini, tapi course yang ini bener-bener membantu banget secara saya gak pernah dapat biologi dasar di kampus. Belum lagi yang ngajar juga ketua dari proyek Human Genome.

Kedengerannya semua nyenengin yah? Hahahahaha…

Ya gak juga, satu yang saya sadari, disini saya minoritas. Gak, mereka gak rasis atau apa, cuma ada kemungkinan besar saya bisa kebawa ama gayanya mereka. Saya inget Anies Baswedan pernah bilang kalo mau kuliah di luar negeri, ada baiknya gak usah sendirian. Mungkin kita bakal punya banyak teman baru disini, tapi tetap aja akan beda karena mereka punya budaya yang jauh dari kita. Ketika kita melebur tapi melupakan jati diri sendiri, saya pikir itu sebenernya sama aja dengan kita gagal belajar. Mungkin kalo ada yang nemenin, bakal ada yang sama-sama ngingetin supaya kita tetap fokus ke tujuan utama kita ngerantau jauh-jauh buat belajar.

It really takes more than just guts to go a distance for your dreams. Nobody says it was easy, even many people say you don’t need to go that far. But at the end, I believe everything is worthy. 

 

Linger

Image

 

Tadinya saya mikir saya baru akan menulis tentang kisah ini saat hati saya sudah sembuh, saat saya sudah tidak menangis lagi. Saya ingin menulis kisah yang indah, bukan kisah yang penuh dengan penyesalan dan ujung-ujungnya air mata.

Tapi setelah sekian hari berlalu ternyata lukanya masih ada. Ternyata rasa sakitnya masih terasa. Dan saya masih akan menangis ketika mengingat kehilangan itu.

Saya kehilangan sahabat saya, Syarah.

Ah, bahkan ketika menulis ini saja mata saya udah berambang, hehehehehe… Kalau kau liat pasti kau ketawa Sya.

Syarah udah sering sakit, sejak tiga tahunan yang lalu, dan dia cerita ke saya kalau dia sakit ini sakit itu, ngeluh ini ngeluh itu. Buat saya itu aneh, Syarah itu atlet. Badannya tinggi besar, Syarah yang ngebuat saya aware ama kesehatan, jadi hobi olahraga. Saya juga gak bisa meriksa langsung, jadi saya cuma pesen ke dokter, coba gini coba gitu. Sebentar Sya bakal membaik, tapi terus kumat-kumatan lagi.

Sya orangnya perasa, sensitif sekali. Dan saya dengan bodohnya beranggapan apa yang Sya alami lebih karena pikirannya. Saya selalu nyaranin dia jangan stress, apalagi waktu itu dia punya strain relationship ama pacarnya, jadi saya pikir yah mungkin Sya kebanyakan mikir. Gak lama Sya putus, kesehatannya emang agak membaik tapi gak hilang sama sekali seperti yang saya pikir sebelumnya.

Mungkin Sya juga males cerita ama saya kalo kena marah terus. Sya jadinya cerita ke Dini, seringnya ke Viska yang suka nemenin dia ke rumah sakit di Jakarta. Dan saya dengan bodohnya mikir dia gak cerita berarti dia udah sehat. Toh sekarang dia ada di hubungan yang oke dengan pacar barunya. Dia semangat sekali kalo cerita tentang masa depan yang dia dan mereka rencanakan. Saya ngebaca tumblr nya penuh ama hal yang ngebuat senyum. Bodohnya saya, saya pikir dia oke.

Kita biasa tukar kabar lewat Travelling Books, kemudian ganti pake email Surat Cinta, kadang di group Whatsapp juga, atau sekedar liat postingan di tumblr. Gak pernah sekalipun terbersit di pikiran saya kalau saya harus nanya Syarah tentang kondisinya, apa yang sebenernya dia rasain. Karena saya pikir dia kuat, dia bahagia dengan semuanya.

Ketika saya berangkat umroh Februari kemaren, Syarah beneran ngebuat list doa buat dia. Saya ketawa, ampe dibuat list beneran coba! Harapan-harapan yang sederhana, seperti “semoga kita semua dikasih kesempatan ama Allah buat umroh bareng-bareng”, atau “doain penyakit aku cepat sembuh”. Jauh dari doa jodoh yang kita semua pada semangat. Saat kita slumber party malam sebelum saya berangkat itu, Syarah lebih banyak diam, dia tidur lebih dulu dibanding kita. Saya tau ada yang aneh di dia, tapi saya cuma ngebatin, “nanti ah ditanyain pas berdua aja, kalo rame-rame gini nanti ngeles lagi gak mau cerita yang bener-bener”.

Syarah suka kaya gitu, suka gak enakan. Mungkin karena dia yang paling terakhir kumpul dengan kita. Kebanyakan diantara kita bersembilan udah kenal dari kecil, Syarah baru gabung pas kita kelas 2 SMP. Somehow, mungkin dia tetap ada ngerasa canggung diantara kita. Kadang Syarah g cerita tentang apa yang sebenernya dia rasa, cuma cerita ke Viska atau Dini, nanti baru deh Viska ama Dini nyampein ke yang lain. Yah kadang itu emang cara yang sering kita pake sih, soalnya sekarang kita kepencar-pencar di Jakarta, Bandung, Yogya, ampe di California sana.

Saya berangkat umroh, alhamdulillah doanya bisa saya sebutkan disana. Syarah juga nitip air Zamzam, tapi karena koper saya kebawa ke Pekanbaru, saya gak sempat ngasihin ke dia waktu saya transit di Jakarta.

Sampai ketika saya udah balik ke Jogja, Syarah Whatsapp di grup kalo dia bakal ke Malaka buat berobat. Saya dengan bodohnya gak nanya sakit apa, saya pikir ya emang dia sakit kan mungkin mau beneran general check up disana. Dengan bodohnya lagi saya mesen, “jangan lupa ke Mal Dataran Pahlawan Sya, obatnya ada disana, hehehehe…”

Viska yang pertama aware, kenapa Syarah belum ngabarin dia udah sampai apa belum. Kita semua nyaranin nunggu dulu, atau tanya Nurul adeknya. Tapi kabar yang diterima malah ngebuat kaget setengah mati.

Syarah masuk ICU, ada infeksi di usunya dan dioperasi di Eka Hospital karena udah gak kekejar kalo tetap diterbangkan ke Malaka, dari jam 9 malam ampe hampir jam 3 pagi. Saya bingung, antara mikir jangan-jangan ceritanya cuma dilebih-lebihin karena gak gitu ngerti kondisinya atau apa deh gitu. Saya gak bisa ngebayangin dioperasi apa sahabat saya sampai masuk ICU dan gak sadar. Saya wkatu ini masih di Kulon Progo buat community service, saya nelfon Mami minta tolong Mami yang ngejenguk.

Kabar dari Mami juga gak ngenakin, “Syarahnya demam ya, ampe dikasih batu es di badannya buat nurunin. Sengaja dibuat gak sadar biar penyembuhannya bagus. Ya ampun Ya, gak tega Mami ngeliatnya, udah selang dari atas ampe bawah. Pulanglah Kak”.

DEG, Mami ampe nyuruh pulang. Perasaan saya makin gak enak. Demam setelah operasi dimana-mana gak pernah jadi hal yang bagus. Saya makin bingung ini sebenernya kenapa. Malam Jessika ulang tahun saya telfonan ama Dini, Dini nyeritain apa yang diceritain Syarah selama ini tapi gak diceritain ke saya. Akhirnya besok siangnya setelah urusan di kampus selesai, saya go show pulang ke Pekanbaru.

Ketika saya liat sendiri teman dekat saya yang paling jago nyetir dan atlet basket itu di ruang ICU, saya udah gak bisa ngejelasin gimana rasanya. Saya bicara ke masing-masing dokternya, dan apa yang saya takutkan kejadia. Syarah masuk dengan diagnosis peritonitis dengan septic shock due to neglected thypoid. Lemas kaki saya, saya tau 85% pasien ICU akan meninggal, 90% lebih pasien dengan kondisi seperti Syarah akan meninggal. Saya ngerasa helpless sekali. Gimana mungkin Syarah yang punya tiga orang sahabat kuliah kedokteran tapi bisa sakit karena neglected thypoid. Saya seperti ditampar bolak-balik. 

Lima hari saya di Pekanbaru, nemenin keluarganya Syarah di rumah sakit, ketemu ama dokternya satu-satu, dan kita semua selalu buntu kalo ngomongin progosis. Walaupun saya tau ada angka-angka statistik yang udah gak bisa diubah lagi, saya juga sadar apa aja bisa kejadian. Jadi tiap sholat saya saya selalu berdoa supaya Allah memberikan kesembuhan untuk Syarah, di tiap sujud saya.

Bukannya gampang ngasih kabar kaya gini ketujuh sehabat saya yang lain, ke Nia juga. Saya bilang ke Nia, “kalau kau bisa pulang, pulang aja Ni. Gak tau apa masih bisa liat Syarah apa gak”, dan Nia akhirnya pulang walau gak sampai ada 24 jam di Pekanbaru, cuma buat ngeliatin Sya doank. 

Saat saya balik ke Yogya, Dias masih disana nungguin Syarah. Selang berapa hari, gantian Viska ama Ami yang pulang buat stand by di rumah sakit. Nemenin keluarganya Sya, ngebantu nyari darah, dan ngabarin kita semua yang gak di Pekanbaru.Selama hampir tiga minggu itu juga hidup saya gak tenang. Saya takut tiap kali ada BBM, WA, atau SMS masuk. Saya takut ngedenger kabar yang gak pengen saya denger.

Tapi Allah berkehendak lain.

Hari itu Rabu, 20 Maret 2013. Gak lama abis bangun pagi saya udah dapat telfon dari Viska ama Ami kalo Sya kondisinya drop lagi untuk yang kesekian kalinya. Saya kalut banget, udah putus asa. Siang itu saya tidur siang, bangun-bangun dapat telfon dari Mami kalau Sya kondisinya jelek banget. Saya sholat Asyar dan berbeda ama doa-doa saya sebelumnya yang minta Syarah disembuhin, daya cuma doa, “Ya Allah, kalaulah ada jalan yang lebih baik, berikan Syarah jalan itu. Berikan dia jalan yang terbaik”. Selesai sholat saya masak makan malam, terus mandi.

Selesai mandi, BBM ada banyak banget, ada banyak missed call, dan hati saya kaya diinjak-injak. Saya buka salah satu BBM dari temen kita sekolah dulu, “Turut berduka cita yah Ya, semoga Syarah diberi kemudahan oleh Allah”. 

Saya telfon Nia, dan selama hampir semenit kita berdua cuma nangis di telfon. Sampai akhirnya Nia nanya saya pulang apa gak. Saya udah gak peduli yang lain lagi, saya bakal pulang. Saya balik ke Yogya dari Kulon Progo, dan besok pagi abis Subuh saya langsung go show ke Pekanbaru.

Itu perjalanan pulang paling ngebuat capek. Sepanjang jalan saya nangis, mana saya juga harus nyelesaiin ujian kuliah online saya. Saya nyari gak bawa apa-apa pas pulang, cuma baju di badan ama tas tangan. Sampai di Pekanbaru saya langsung ke makam, dan Syarah  pas mau dimakamkan. 

Selama ini saya selalu bilang “Nangisnya kaya orang kematian laki” kalo ngeliat orang nangis kejer. Dan kemaren itu, persis kaya itu saya nangis, nangis diam tapi air mata deras banget keluar. Saya cuma bisa sanderan ama Ami ama Viska. Ampe Nurul datang dan ngingetin kalo saya gak boleh nangis, barulah saya bisa berhenti nangis. Ngeliat keluarganya Syarah dan Dias disana, ngebuat saya sedih banget gak bisa diceritain. Syarah yang paling steady ama cowoknya, kalau kita sisanya kaya yang dibilang Mamanya Ami, “gak kepikiran ama jodoh”, tapi malah Syarah yang pergi.

Itu adalah hari terberat di hidup saya.

Gak pernah kepikiran ama saya kalau salah satu diantara kita akan pergi. I took them for granted for all this time, dan kepergian Syarah ngebuat saya sadar ama itu semua. Selama ini saya mikir Syarah bakal oke, akan selalu ada disana, jadinya saya gak pernah bener-bener pay attention ke apa yang dia keluhkan dengan kesehatannya. Padahal saya ini apa? Sarjana kedokteran, koass, cuma itungan bulan buat disumpah dokter. 

Malam itu saya mau gak mau mengingat semua hal yang udah kejadian selama ini.

Syarah pindah ke Cendana tahun 2003, waktu itu di 2F cuma ada 10 orang cewek. Kita emang lagi nungguin murid cowok baru sih pindahan dari Duri, hahahaha… Waktu kita tau yang pindah cewek awalnya agak kecewa, maunya kan yang pindah cowok, tapi akhirnya malah semangat karena bisa nambahin isi kelas yang ceweknya cuma 10.

Syarah duduk di sebelah saya. Awalnya saya agak aneh ama Syarah. Pertama dia dari SMP 4, sekolah negeri itu agak aneh, hehehehe. Syarah selalu bawa bekal, dia sukaaaa banget ama kucing, basket, dan semua hal yang ada Jepangnya. Syarah juga hobi ngegambar, diary saya entah berapa kali ketambahan gambar dari dia. 

Kalau ada hal yang paling saya ingat dari dia itu adalah kebiasaan dia sholat Zuhur pas istirahat kedua. Sebelum itu gak ada satupun dari kita cewek-cewek yang sholat di sekolah, sholat ya di rumah aja, walaupun ujung-ujungnya kalo ingat. Ngeliat Syarah sholat saya jadi ikutan sholat. Kalaulah gak ada Syarah, entah kapan saya belajar sholat lima waktu gak pake bolong-bolong.

Syarah yang ngebuat saya suka olahraga, kita sering jogging bareng. Sepanjang jogging kita bakal cerita ini itu ngalor ngidul kemana-mana cekikikan gak tentu arah. I will miss that moment. Dia orang yang paling tulus yang pernah saya kenal. Apa-apa yang dia kerjain untuk teman, apalagi sahabat lama kaya kita itu selalu ngebuat senang karena kita tau dia ikhlas ama semuanya. Saat saya masih bingung pulang atau gak pas Syarah masuk ICU, saya ingat gimana dia datang sebelum saya berangkat umroh. Syarah kerja di Bogor, dan saya nginep di dekat Bandara, betapa jauhnya dia nyetir cuma untuk ngabisin malam ngobrol-ngobrol bodoh ama saya. Padahal saat itu dia pasti juga udah ngerasain sakit.

Semangatnya buat hal baru gak bisa saya lupain. Saat teman-teman kampusnya pada males ikut sertifikasi Oracle karena susah, Syarah ikut dan berhasil lulus. Kalau ada waktu kosong dia bakalan ikut les ini itu. Dia pengen belajar masak yang bener, biar bisa masak kaya Mamanya, curiganya sih pengen masakin Dias sebenernya, hehehehe… Syarah yang dandanan jilbabnya paling ciamik, tapi dia tetep ikut ama ketentuan syar’i, gak yang cuma mentingin model tapi dadanya gak ketutup. Dan Syarah juga yang ngebuat saya ketemu ama Nia, sahabat saya yang lain, yang gak bareng dari jaman kita kecil tapi rasanya kaya saudara yang udah lama ilang. Syarah juga yang ngingetin saya buat patuh ama orang tua. Saya kan dasarnya keras kepala, sering banget bentrok maunya apa ama Mami. Beda ada Syarah yang Mama adalah orang pertama di hidup dia. Kalau saya, saya bakal ngerjain apa yang ngebuat saya senang, tapi Syarah bakal ngerjain apa yang ngebuat Mamanya seneng.

Sya, kalaulah kita ada waktu kemaren itu, aku pengen bilang betapa aku sayang ama kau, aku bangga ama kau. Kau ngebuat aku pengen berusaha buat jadi lebih baik lagi, jadi orang yang tulus kaya kau. Dan aku minta maaf, buat semua janji yang gak tertepati, buat semua marah aku ama kau walaupun kau tau itu karena aku sayang ama kau. 

Aku tau kau sekarang ada di tempat yang paling baik. Dan aku selalu ngejaga kau di dalam doa aku. Aku tinggal ujian negara nih Sya, sebelum jadi dokter. Walaupun kau gak bisa berobat ama aku nanti Mama, Ayah, ama Nurul yang bakal berobat ama aku. Abstrak penelitian aku yang baru keterima lagi di Belanda, Juni nanti aku kesana lagi. Aku juga daftar buat riset disana. Kalau kau masih disini pasti kau udah nyemangatin aku kan, kau yang bakal ngomong dengan penuh semangat percaya kalu aku keterima.

Aku pengen kau tau bahwa arti kau besar banget buat aku. Besok pas aku sumpah kau gak bisa ngedandanin jilbab aku donk yah, padahal kan aku pengen pake jilbab gaya sekali-kali. Kata Nia dia gak tau bisa pulang ke Pakanbaru lagi dengan tenang apa gak. Soalnya dimana-mana pasti keinget kau, kita main kesana kesini. Sekarang kalo ngeliat J.Co aku sedih, kan biasanya aku, Nia ama kau selalu nongkrong disana.

Sekarang kalo BBM atau WA kita pasti suka kaya ngasih semangat gitu Sya. Kami semua masih susah banget kalo keinget kau. Sedih tapi bahagia karena kita semua sadar kita punya hampir 10 tahun yang menakjubkan. Kita besar sama-sama, ganti seragam sama-sama, ngebangun hidup sama-sama. Saling menguatkan, mengingatkan dalam kebaikan. Email kau terakhir ke kita aja tentang zakat penghasilan kan. InsyaAllah, kita pasti bakal ngerjain.

Dan kaya yang kau tulis di diary aku jaman SMP dulu, “karena bagaimanapun sahabat, dia adalah segala-galanya untuk kita”

I’ll be missing you Sya,postingan sepanjang ini pun gak cukup untuk ngejelasin apa yang aku rasain, tentang kita, persahatan kita. Semoga nanti Allah mengumpulkan kita semua di surganya, ngasih tempat buat kita cibong rame-rame…

Image

 
Leave a comment

Posted by on April 7, 2013 in About Life

 

Twenty Something Confusion

Assalamualaikum siapapun yang membaca ini!
Akhirnya saya nulis lagi, horeeee!!! Hahahahaha, sebenernya banyak sekali waktu dimana saya pengeeen banget nulis, tapi gak jadi-jadi terus soalnya mood nya naik turun. Alasan klasik tapi emang cuma itu musuh terbesar saya.

Nah, sekarang saya lagi KKN (yayayayaya, saya tau seharusnya saya gak bisa ketemu internet kalo lagi KKN). Itu artinyaaa, saya punya banyak waktu luang untuk ngerjain ini itu apapun yang saya mau. Tau gak, buat saya gak ada yang lebih menyenangkan di dunia ini daripada kebebasan untuk ngelakuin apapun yang kita mau tanpa jadwal yang ngejar-ngejar. Saya bisa bebas mau baca buku apa, mau belajar apa, mau nonton apa, mau olahraga berapa lama, mau ngerjain handcraft apa. Yang lain pada suka bingung mau ngapain kalo ada waktu kosong, saya malah kesenengan, hehehehe…

Jeleknya cuma satu, punya banyak waktu kosong berarti punya banyak waktu untuk mikir.
Kalaupun gak mau mikir tapi ujung-ujungnya suka kepikiran sendiri.
Kepikiran apa? Kepikiran hidup, kepikiran yang udah pada kejadian, kepikiran masa depan.
Begitu KKN ini selesai, saya cuma tinggal UKDI dan insyaAllah setelah itu udah dapat gelar dokter. Terlepas dari internship atau gak, itu artinya karir saya sebagai dokter udah dimulai. Dan semakin dekat saya dengan titik itu, saya makin gak tau saya mau jadi dokter yang seperti apa sebenernya.

Sebelum saya menulis post ini, saya ngebaca lagi beberapa posting-an yang saya buat sebelumnya. Itu pertengahan tahun 2010 ketika pertama kali saya mulai menulis, dan sekarang udah 2013, hampir 3 tahun. Gak terasa, tapi ternyata banyak cerita yang udah saya tulis.
Saya senang sekali ketika menyadari bahwa sebagian besar harapan-harapan dan mimpi-mimpi yang pernah saya tuliskan sebelumnya terkabul, udah saya cicipi sekarang. Tapi saya juga heran karena ada beberapa mimpi yang kalo ditanyain sekarang, well saya akan bilang kalo saya udah gak punya mimpi yang kaya gitu lagi.

Manusia itu hatinya ternyata memang mudah sekali terbolak-balik, sekarang ingin itu besok maunya ini. Itu yang ngebuat saya makin ragu. Gimana kalau saya sudah gak senang lagi dengan apa yang saya senangi sekarang? Gimana kalau saya mengambil keputusan yang salah? Gimana kalau saya mengejar hal yang sia-sia?
Kalau dalam kurun waktu dua tahun setengah saja saya sudah bisa merubah hal-hal yang dulunya saya perjuangkan, mungkin saja kan apa yang saya perjuangkan sekarang nantinya akan menjadi hal yang saya rasa tidak berguna?
Kalaulah saya bisa benar-benar memilih passion saya dengan tepat sekarang, kalaulah saya bisa memilih jalan yang sesuai sekarang, kalaulah saya bisa jatuh cinta dengan orang yang benar sekarang. Semuanya pasti bakal jadi jauh lebih gampang kan.

Saya tau untuk terus berjalan kita memang harus membuat beberapa kesalahan dan belajar dari sana. Sejauh ini pun saya sendiri udah berkali-kali ngebuat kesalahan, saya belajar dari kesalahan-kesalahan itu, dan karena itulah saya sekarang berada di kondisi saya saat ini. Cuma saya pikir sekarang ini udah bukan waktunya ngebuat kesalahan. Umur saya udah bukan umurnya remaja yang serba bingung dengan pilihan-pilihan yang ada.
Ketika saya nonton tivi misalnya, atlit-atlit yang ada sekarang umurnya udah lebih muda daripada saya, pengusaha-pengusaha yang masuk rubrik mativator umurnya gak jauh dari saya, baca TIME sekarang isinya tentang profil sukses orang yang umurnya selisih dikit ama saya, Miss Universe yang baru aja lebih muda daripada saya.
Mereka udah bisa ngebuat dunia ngeliat mereka di umur yang semuda itu, kan lucu kalo saya sekarang masih aja ngebuat pilihan yang salah.
Dan kita juga ternyata gak hidup sendirian kan. Ada banyak harapan dari orang-orang di sekitar kita yang juga harus kita pertimbangkan. Kita harus berkompromi dengan semua hal itu. Untuk orang yang keras hati seperti saya, ini semua ngebuat makin bingung. Saya gak mau mengerjakan sesuatu kalau hati saya gak disana, tapi saya rasa-rasanya juga gak ada hati untuk mengacuhkan begitu aja orang-orang yang udah ada buat saya sampai saat ini.
Bahkan saya jaman remaja rasanya lebih punya pendirian daripada saya yang udah 22 tahun ini.

Bukannya saya mau jadi terkenal atau apa. Saya cuma mau di umur saya yang gak tau Allah ngasih jatah berapa ini, saya bisa ninggalin sesuatu. Saya selalu kebayang kalau saya meninggal nanti, orang akan menulis orbituari macam apa? Orang akan bercerita seperti apa?

Mungkin ini yang ngebuat saya gak bisa ngeraih sesuatu dengan maksimal, saya gampang sekali terdistraksi dengan hal-hal yang bahkan belum pasti. Sejauh ini rasa-rasanya saya selalu buat kesalahan disana-sini usaha saya, jarang sekali saya bisa ngejaga semangat saya di level yang konstan, boro-boro naik, hahahaha…
Dan seringnya saya suka berkeras hati sendiri. Banyak orang yang saya kenal bahagia dengan hidupnya, gak ngoyo gak jelas kaya saya karena mereka gak keras hati kaya saya. Karena mereka gak terlalu memaksakan diri mereka merasa lebih content dengan apa yang udah mereka punya. Pastilah mereka gak pernah gak bisa tidur semalaman cuma karena ketakutan gimana kalau ternyata apa yang kejadian gak sesuai dengan apa yang direncanain.

Tapi membayangkan saya sebagai orang yang diam, gak banyak menuntut dengan hidup juga gak bisa saya bayangin, hahahaha… Entahlah, somehow semua kegilaan yang saya ciptakan sendiri ini yang ngebuat saya ngerasa hidup. Ini yang ngebuat saya semangat bangun di pagi hari dan gak sabar untuk ketemu hari-hari selanjutnya.
Mungkin ini memang harga yang harus saya bayar untuk apa-apa yang saya inginkan saat ini.

Semuanya kembali ke Allah. Mungkin selama ini saya kurang percaya dengan apa yang Dia sudah gariskan. Sekarang ini ketika habis sholat saya akan berdoa untuk kemudahan saya dalam menjalani hidup, agar beban saya diringankan, agar jalan saya dimudahkan, jalan apapun itu yang saya ambil. Dan juga agar hati saya dilunakkan untuk menerima apa-apa yang memang menjadi hak dan kewajiban saya di dunia.
Karena saya mau bukan hanya saya yang bahagia dengan apa yang saya punya. Saya mau orang tua saya bangga dengan apa yang saya punya, saya mau mereka percaya dengan pilihan saya, gak ada lagi protes saya begini saya begitu. Saya mau adik-adik dan sahabat-sahabat saya ikut bahagia dengan hidup saya.

Seperti tulisan-tulisan saya yang lain, ini sebenernya tulisan untuk mengingatkan diri sendiri, menguatkan diri sendiri. Mungkin yang lain, yang membaca tulisan ini, jauh lebih bijaksana daripada saya. Saya pasti keliatan lucu mencemaskan hal-hal seperti ini, hehehehehe…

Bismillah, sekarang mungkin cuma perlu lurusin niat yah, jalanin sekuat yang saya bisa. Kata orang kalau jodoh gak bakal kemana, kalaupun nantinya gak dikasih pasti ada hal yang lebih baik menunggu buat saya. Saya cuma perlu iklash sama semua hal yang saya lakukan, walaupun susah.
Semoga hati ini selalu diberikan kemudahan untuk menerima apa-apa yang terjadi, tanpa berkecil hati dan kehilangan semangat untuk terus berusaha.

 
Leave a comment

Posted by on March 2, 2013 in About Life

 

Ilmu Kedokteran Jiwa

Ketika saya sedang menulis ini, matahari Yogyakarta sedang terang-terangnya, golden yellow everywhere.

Anyway, draft tentang Stase Jiwa ini sudah tersimpan sejak tanggal 21 Februari 2012. Okay, blame my time management and my mood for writing, hehehehehe… Tapi sekarang, saya beneran bakal nulisin cerita tentang Stase Jiwa saya.
Stase Jiwa itu, abstrak!
Yah, karena kita mempelajari sesuatu yang tidak terlihat, kan gak ada organ yang namanya Jiwa di dalam tubuh kita. Ini adalah salah satu bagian yang membuat saya tertarik. Sederhananya aja karena sesedih-sedihnya orang sakit, yang lebih sedih lagi adalah ngeliat orang yang sakit jiwa.
Mereka sehat secara fisik, tapi saat kita melihat ke mata mereka, kita tau ada hal yang paling penting sudah tidak ada lagi di sana. Pandangannya nanar, kosong. Sebulan di Stase Jiwa udah cukup mengasah kemampuan saya untuk melihat mana pasien yang mengalami gangguan jiwa, mana yang bukan. Nanti ini bakal guna banget pas masuk stase Interna, kita bisa tau mana pasien yang bener-bener punya keluhan fisik, mana yang keluhan fisiknya sebenernya cuma manisfestasi dari kondisi jiwanya.

Nah, kebetulan saya kebagian stase luar kota di Magelang. Di sana ada RSJ dr. Soerojo Magelang, sebuah rumah sakit jiwa rujukan Nasional! Kalo saya gak salah disana total ada 21 bangsal. Yak, 21 bangsal yang isinya pasien dengan gangguan jiwa semua. Entah berat entah ringan, laki-laki perempuan, tua muda, semuanya ada disana. Rumah sakitnya luaaaaas sekali, kaya Kebun Raya Bogor, hehehehehe… Lumayan gempor kalo jalan kaki muterinnya, jadi biasanya kita kemana-mana emang pake mobil.
Yang kebagian di Magelang itu ada saya, Diony, Melvina, Irene, ama Tiwi. Seneng banget saya kebagian Magelang, soalnya ini emang recommended sekali, kapan lagi bisa masuk RSJ rujukan se-Indonesia Raya kan, hehehehehe… Nah, di Soerojo yang koass Jiwa gak cuma UGM, ada Trisakti, UKI, UMY, dan kayanya ada yang lain juga yang gak ketemu dengan kelompok saya. Seperti cerita saya sebelumnya, begitu UGM ketemu Trisakti, entah kenapa rasanya klop aja, hehehehe… Main, makan, dan jaga bareng selama tugas disana. Bahkan setelah saya balik ke Sardjito pun mereka masih nyempetin diri mampir dan nyulik saya sebentar sebelum mereka pulang ke Jakarta. Senengnya jadi dobel, dapat ilmu plus dapat temen baru!

Kebanyakan pasien yang mengalami gangguan jiwa disebabkan oleh kehilangan orang yang dicintainya. Dulu saya ketawa denger kalo ada yang bilang putus cinta bisa jadi gila, tapi setelah ngeliat sendiri di Magelang saya tau kalau apa yang dibilang orang-orang memang benar. Kebanyakan mulai terganggu jiwanya setelah diputusin pacar, ditinggal nikah, atau diduakan dalam pernikahan. Penyebab kedua yang terbanyak adalah masalah ekonomi sosial, gagal mendapatkan pekerjaan, di-PHK, hutang, putus sekolah, dan banyak kondisi lainnya.

Kalau ada satu cerita yang paling saya ingat itu bukan pasien-pasien yang mengamuk atau tingkah laku aneh mereka yang ngebuat ketawa (yang sering banget kejadian), tapi justru sisi sedihnya.
Ada satu pasien yang kerjanya selalu menangis, minta ditelfonkan keluarganya, minta dijemput. Seperti kebanyakan pasien di rumah sakit Pemerintah, pasien disini juga dirawat atas tanggungan pemerintah, keluarga tidak perlu mengeluarkan uang sama sekali. Jadinya apa? Jadinya keluarga benar-benar lepas tangan dengan perawatan anggota keluarganya. Sepanjang saya bertugas disana saya tidak pernah ingat ada pasien yang dikunjungi oleh anggota keluarganya.
Satu kasus lain saat saya tugas jaga di IGD. Pasien baru masuk tanpa ada alasan yang jelas kenapa keluarganya mengantarkannya ke IGD, jika ditanyakanpun mereka hanya saling melempar pandangan dan menjawab tidak jelas, pasien sendiri juga hanya diam. Akhirnya karena pasien ini sebelumnya juga sudah pernah dirawat dan jaminan juga sudah ada, pasien inipun dimasukkan ke Bangsal. Sebelum pasien ini dipindah ke Bangsal ia berkata, “Saya sudah tidak sakit, keluarga saya minggu ini ada hajatan dan mereka tidak ingin saya ada di rumah. Tidak apa-apa kalau saya harus mondok, tapi jangan kasih saya obat seperti dulu-dulu”.

Gimana saya gak hampir nangis mendengarnya. Pasien itu berbicara dengan tenang, dan dari matanya saya tau dia tidak dalam kondisi jiwa yang terganggu. Pasien baru kadang memang harus mendapatkan pengobatan yang intens, bahkan kadang saya juga gak kuat mengerjakan terapinya, dan pasien ini tidak mau mengalami perawatan itu lagi.

Padahal keluarga adalah tiang dari kesembuhan pasien jiwa. Saya sendiri memiliki keluarga dekat yang pernah mengalami gangguan kejiwaan, bahkan sampai berulang. Dulunya saya tidak mau terlalu ambil pusing, dan di keluarga saya juga tidak ada stigma khusus yang ditempelkan. Ketika kerabat saya ini sakit, bahkan harus dirawat di ruang yang ada selnya, keluarga tetap menjenguk. Ibu saya hampir setiap hari datang menunggui, menyuapi makan, mengajak bicara. Setelah merasakan sendiri merawat pasien jiwa, saya jadi sadar betul betapa hal yang kami sekeluarga kerjakan saat itu sangat berarti bagi pasien. Buktinya sekarang, kerabat saya itu bisa menjalani fungsi hidupnya dengan baik. Mungkin sakitnya bisa saja kambuh, tapi ia tidak mengalami penurunan fungsi sebagai manusia.

Stase Jiwa membuat saya besyukur bahwa saya memiliki hidup yang baik, keluar dan sahabat yang mendukung. Bahwa sesulit apapun kehidupan saya, saya gak sampai gila. Dan stase ini juga mengajarkan kita untuk berbagi. Manusia itu diciptakan sebagai makhluk sosial, dan hal itu mewajibkan kita untuk berinteraksi, berbagi satu sama lain, entah kegembiraan maupun kesusahan. Jika sulit sekali rasanya untuk mencari teman untuk berbagi, ingatlah bahwa kita masih memiliki Tuhan. Teman berbagi yang selalu menanti kita untuk datang bercerita kepadaNya.
Dengan begini, seharusnya apapun yang terjadi pada hidup, kita tidak akan merasa terbebani, jiwa kita akan tetap kuat dan sehat.

 
Leave a comment

Posted by on January 24, 2013 in Behind That White Suit