Judul di atas adalah lagunya Diana Ross; hits di tahun 1976, menang Academy Award for Best Original Song (dari film Mahogany), dan selalu diputar sebagai lagu terakhir di Aditya 98,7 FM jam 11 malam di jaman saya masih ngedengerin Aditya FM.
Bayangin anak umur 16 tahun yang duduk di kelas akselerasi baru mau tidur jam 11 malam habis ngerjain PR. Pikirannya dipenuhin ama ‘mau kuliah apa dan dimana’ sampai ke level cemas. Yang dia tau, dia gak mau tetap tinggal di Pekanbaru. Entah karena kebanyakan nonton romcom Hollywood atau memang udah bosan berantem terus ama adek-adeknya (belum akur waktu itu), di kepalanya Yaya yang ada adalah ‘you go far when you are going to college, it’s time to become an adult‘. And she did go as far as two flights from Pekanbaru to Yogyakarta could take her.
Did she become an adult? That’s debatable, because said girl still checking Gramedia religiously for the newest Conan comic and willing to fake a cry to make her sister go to buy her dinner.
Yang jelas, dia tambah semangat untuk pergi jauh. Beruntungnya dia juga punya teman-teman yang keren yang nunjukin jalan gimana caranya biar bisa belajar sambil jalan-jalan. Mungkin karena awalnya dia punya cita-cita jadi diplomat atau jurnalis kaya Christiane Amanpour, atau emang orangnya yang (like Hartanto once said and we both agreed) selfish and greedy and just cannot get enough. She cannot stop with the travelling either.
Dan itu bukan hobi. Saya jujur paling malas packing and pindahan, walaupun karena jam terbang jadi lebih tinggi sekarang skill packing juga makin bagus. Kerjaan yang makin lama makin seru, makin ngebuat nagih, dan makin ngebutuhin untuk kemana-mana. Kadang bisa sesederhana pindah rumah sakit pindah kota pas koas, atau harus tinggal di negara lain untuk beberapa waktu karena kerjaan atau belajar.
Nah, gak sekali dua saya ngerasain jenuh hidup di koper, selalu kelewatan acara-acara gathering karena lagi di luar kota, dan capek tapi belum bisa tidur di kamar baru yang adalah kamar hotel, saya bakal inget waktu saya masih di Rumbai kecapean abis ngerjain PR tapi belum bisa tidur dan ngedengerin Diana Ross nyanyi kaya beneran lagi nanyain saya ‘do you know where you going to?‘
Kadang kita cuma tau setengah dari keinginan kita, atau setidaknya saya begitu. Saya cuma punya beberapa hal yang saya pertimbangkan sebagai pekerjaan yang oke, yang membuat saya bisa menggunakan ilmu saya (dan saya harap membuat perubahan), bertemu orang banyak, dan pergi ke banyak tempat. Saya tau apa yang harus saya usahakan untuk hal itu tidak akan gampang, tapi kadang ada saat-saat saya berpikir “I never thought it will be this hard, that I do not enjoy it anymore”.
Tapi saya rasa memang pada awalnya kita hanya tau setengah dari keinginan kita, dan setengahnya (yang berisi semua hal yang tidak menyenangkan) yang akan menjadi penentu apakah kita bisa sampai ke tujuan apa tidak. Mungkin setengah dari keinginan kita yang isinya semua hal yang gak enak itulah yang orang bilang diterminasi, disiplin, mengalahkan diri sendiri dan semangat juang.
Sekarang saya bahkan udah bukan di Jogja lagi. Saya ada di tempat yang selisih 11 jam lebih lambat dari WIB. Dengan banyak doa dari orang tua, guru, dan sahabat, entah gimana caranya saya bisa diterima di sekolah kesehatan masyarakat terbaik di dunia. Somehow, saya bisa mengalahkan setengah dari keinginan saya untuk jadi mahasiswa S2 di Johns Hopkins’s Bloomberg School of Public Health sehingga saya bisa benar-benar ada di sini. Saya ingat saya menghela napas panjang waktu pertama kali melihat kompleks kampus ini seminggu yang lalu. Yang terpikir oleh saya adalah apakah saya akan bertahan dengan semua standar dan cara kerja disini.
Karena saya pergi ke sini dengan beasiswa Pemerintah, dengan surat rekomendasi dari seorang Guru Besar yang disegani di tingkat internasional, pimpinan salah satu institusi JHU di Indonesia, dan PI dari sebuah proyek riset multinasional di JHU. Oh, tidak lupa dengan sebuah tawaran pekerjaan sebagai asisten peneliti di proyek riset multinasional tersebut. Mereka pasti akan melihat kinerja saya disini.
Saya sedang duduk di perjalanan 16 jam dari Doha ke New York ketika saya menyadari itu, dan untuk sekitar 15 menit saya panik, like literally panic (fast breathing, sweating, and thinking nonsense things). ‘What am I doing going this far, to place that I know is not the safest place on earth, far from family? What do I want to prove? What will I do there?’
Tapi mungkin karena saya juga udah beberapa kali mengalami hal seperti ini (walaupun tidak sebesar ini), dan juga kenyataan bahwa akhirnya saya memilih tidur buat ngehilangin panik (sleep always helps), saya akhirnya sampai di keputusan ‘Yah Ya, udah telat kali kalau mau mundur, udah terlanjur basah ya main air aja sekalian’. Yang bisa saya kerjakan sekarang adalah usaha sekuat tenaga, belajar yang benar, karena itu yang diamanatkan ke saya oleh negara, guru-guru, dan keluarga saya. Dan setau saya, tidak ada batas untuk usaha asalkan itu di jalan yang benar dan terhormat.
Setengah keinginan saya yang mau pergi jauh-jauh buat sekolah disini, jadi saya juga harus tanggung jawab dengan setengah bagian lagi yang mungkin tidak terlalu enak, tapi pasti akan rewarding. Seperti usaha, keinginan juga tidak akan pernah ada batasnya. Hanya kita yang harus sadar bahwa selalu ada harga yang harus dibayar untuk mendapatkan apa yang kita mau.
Kalau ada yang bertanya (dan ini banyak, terutama buat adik-adik di FK UGM) bagaimana caranya bisa ‘pergi jauh’, saya cuma bisa bilang pertama kita harus tau apa yang kita mau. Untuk mengetahui apa yang kita mau waktunya tidak bisa sebentar, ada prosesnya. Jadi daripada bertanya-tanya mau apa, mending langsung masuk ke prosesnya. Entah kalau ada bukaan posisi tertentu, atau ikut di berbagai kegiatan, pelajari hal baru, bergabung ke lingkungan baru. Semuanya asal dilakukan dengan niat dan cara yang baik dan tekun pasti akan bermanfaat dan membentuk visi kita ke depan. Saya bisa bilang ini karena ini yang saya lakukan. Saya aja yang modal otak pas-pasan (ini beneran, kalau ngikut hasil IQ saya bahkan gak bisa masuk aksel) bisa, apalagi yang kalau udah dari sananya pinter.
Yang kedua adalah jangan kelamaan mikir. Kalau saya kelamaan mikir waktu saya panik di atas pesawat, mungkin saya bakal nangis aja minta pulang. Perlu kenekatan sendiri buat berani mengambil keputusan. Pertnyaan kaya daftar beasiswa apa tidak (gak usah kebanyakan mikir bakal diterima apa gak), daftar S2 tahun ini apa gak (mau nunggu apa emangnya), mau ngambil studi bidang apa (ya dicari tau donk adanya di universitas tujuan apa dibandingkan dengan apa yang kita mau) bisa jadi kontemplasi sekian purnama sendiri kalau gak bisa ambil keputusan cepat. Keputusan cepatnya tentu udah harus ada dasar riset terlebih dulu.
Dan yang ketiga, ini yang paling penting, pasrah ama Yang Di Atas. Saya percaya Allah akan selalu memberi kemudahan buat saya, itu kenapa saya juga berani mengambil jalan yang saya pikir sulit. Perasaan tenang bahwa ada yang menjaga saya dan orang-orang yang saya sayangi yang jauh dari saya adalah hal yang membuat saya berpikir bahwa semua hal akan baik-baik saja.
Akhirnya pertanyaan di lagu Diana Ross tadi adalah sebuah pertanyaan valid yang harus ditanyakan semua orang. Apakah kamu tau kamu akan pergi kemana? Itu artinya hanya diri kitalah yang paling berhak menentukan apa yang mau kita lakukan dengan hidup kita, bukan orang lain. Orang lain hanya bisa memberi masukan, keputusan terbesar tetap ada di tangan kita. Konsekuensinya, semua tanggung jawab juga ada di tangan kita.